ABSTRAK
Demokrasi merupakan suatu keniscayaan dalam republik ini, hal tersebut tersurat dalam sila ke-4 Pancasila. Namun, dalam pelaksanaannya masih syarat dengan budaya patriarki mengakibatkan perempuan tampil kurang percaya diri dalam kancah politik. Kemudian beban tersebut di tambah dengan sistem pemilu yang tidak memperhitungkan dampak bagi perempuan, kurang mendapatkan dukungan dari partai, terbatasnya kandidat perempuan, dana dan tidak tersedianya sistem pendidikan politik serta pelatihan untuk mereka. Kebanyakan dari kaum perempuan menghadapi kendala negara ekonomi yang meliputi kurangnya pendidikan politik, kemiskinan dan lemahnya sumber keuangan, ditambah dengan beban ganda antara kepentingan keluarga dan kepentingan profesinya, hal tersebut sangat mempredisposisikan dunia politik menjadi sangat maskulinisasi.
Kata Kunci: Demokrasi, budaya patriaki, pendidikan politik.
A. PRINSIP DEMOKRASI
Demokrasi berasal dari peradaban Yunani Kuno yang dikembangkan oleh filsuf yang terkemuka yakni Plato dan muridnya bernama Aristoteles. Demokrasi yang dilaksanakan di Yunani merupakan demokrasi langsung (direct democration) yang mana rakyat langsung memilih calon pemimpinnya. Hal tersebut dimungkinkan karena demokrasi langsung pada masa Yunani dikarenakan penduduk Yunani masih terbatas jumlahnya, dan wilayah di Yunani tidaklah melebihi provinsi terkecil yang ada di Indonesia. Secara etimologi demokrasi merupakan penjabaran dari kata demos yang memiliki arti rakyat dan kratos/kratein yang memiliki arti kekuasaan. Jadi demokrasi memiliki letak kekuasaan berada di tangan rakyat (banyak orang). Sejalan dengan definisi tersebut Abraham Lincoln memaknai demokrasi sebagai the government from the people by the people and for the people, atau pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat.
Transisi demokrasi di Indonesia pada saat ini banyak membangkitkan kehidupan berpolitik warga masyarakat, termasuk mengenai relasi jender yang banyak dibicarakan dalam berbagai topik pembicaraan. Berbicara jender dalam politik erat kaitannya dengan masalah tingkat partisipasi, khususnya dalam parlemen. Peningkatan partisipasi perempuan dalam parlemen tidak dengan sendirinya akan mengubah perwujudan kesetaraan dan keadilan jender. Perempuan akan dihadapkan pada dua kendala yakni: struktural dan kultural, yang berkenaan substansi suatu kebijakan dan mekanisme pengambilan kebijakan. Konferensi Dunia tentang Perempuan di Beijing pada tahun 1995, terdapat 12 bidang krisis yang harus segera ditangani yakni: kemiskinan, ekonomi, kesehatan, kekerasan, anak-anak perempuan, pendidikan politik, lingkungan hidup, pengambilan keputusan, perempuan dalam situasi konflik, hak asasi perempuan, media, dan mekanisme kelembagaan bagi kemajuan perempuan. Bahkan PBB mencatat lebih dari sebagian penduduk dunia mengalami kemiskinan dan 63% diantaranya adalah perempuan. Selain itu globalisasi ekonomi menyebabkan migrasi besar-besaran di seluruh dunia, sebanyak 175 juta orang telah bermigrasi dan 70% adalah perempuan. Giddens (2000:8) memberikan ciri-ciri Demokrasi Sosial Klasik:
• Keterlibatan negara yang cukup luas dalam kehidupan ekonomi dan sosial.
• Negara mendominasi masyarakat madani .
• Kolektivisme.
• Manajemen permintaan Keynesian dan korporatisme.
• Peran pasar yang dibatasi: ekonomi sosial atau campuran.
• Pemberdayaan sumber daya manusia secara maksimal.
• Egalitarianisme yang kuat.
• Negara kesejahteraan (welfare state) yang komprehensif: melindungi warga negara “sejak lahir sampai mati”.
• Modernisasi linear.
• Kesadaran ekologis yang rendah.
• Internasionalisme.
• Termasuk dalam dunia dwikutub (bipolar).
B. CIRI MASYARAKAT MADANI
Terminologi masyarakat Madani pertama sekali dipopulerkan oleh Prof Dr.Naquib-Al-Attas, ‘Mujtama’ madani, yang secara etimologis mempunyai dua arti : Pertama, "Masyarakat kota”, karena Madani adalah derivat dari kata Bahasa Arab, Madinah yang berarti kota. Kedua, “Masyarakat yang berperadaban”, karena Madani adalah juga merupakan derivat dari kata Arab Tamaddun atau Madaniah yang berarti peradaban. Dalam Bahasa Inggris ini dikenal sebagai civility atau civilization. Maka dari makna ini masyarakat Madani dapat berarti sama dengan civil society, yaitu “masyarakat yang menjujung tingggi nilai-nilai peradaban". Pendapat senada juga dikemukakan oleh Nurcholis Majid., bahwa istilah tersebut merujuk kepada masyarakat Islam yang pernah dibangun Nabi di negeri Madinah.
John Locke seorang pemikir kapitalis mengembangkan istilah civil society menjadi civillian goverment dan ditulis dalam buku yang berjudul Civillian Government pada tahun 1690. Buku tersebut mempunyai misi menghidupkan peran masyarakat dalam menghadapi kekuasaan-kekuasaan mutlak para raja dan hak-hak istimewa para bangsawan. Demikian itu demi kepentingan kaum borjuis yang berkembang setelah itu. JJ Rousseau yang terkenal dengan bukunya The Social Contract (1762), berbicara tentang otoritas rakyat, dan perjanjian politik yang harus dilaksanakan antara manusia untuk ikut menentukan hari dan masa depannya, serta menghancurkan monopoli yang dilakukan oleh kaum elite yang berkuasa demi kepentingan manusia.
Marx (dan pendahulunya Hegel) sebagai pencetus ide sosialisme, juga mempunyai konsep pemberdayaan rakyat ini. Marx dan Hegel berpendapat bahwa negara adalah bagian dari suprastruktur, mencerminkan pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas dan dominasi struktur politik oleh kelas dominan. Negara tidak mewujudkan kehendak universal tapi kepentingan kelas borjuis. Secara lebih lengkap Marx telah memberikan teori tradisional tentang dua kelompok masyarakat dalam negara, yang dikenal dengan bae-superstructure. Teori kelas sebagai salah satu pendekatan dalam Marxisme tradisional menempatkan perjuangan kelas sebagai hal sentral, faktor esensial dan menentukan dalam perubahan sosial. Pendekatan ini cenderung melihat masyarakat kapitalis dari perspektif ekonomi. Masyarakat kapitalis dibagi menjadi dua kelas utama, yaitu proletar dan borjuis. Dari perspektif ini, masyarakat terdiri dari dua unsur esensial yaitu dasar (base) dan superstructur. Adanya dua kelas ini mau tidak mau akan membawa kepada konflik yang tidak dapat dihindarkan ketika keduanya berusaha mendominasi yang lainnya.
Nurcholis dengan "pendekatannya" di atas menyatakan bahwa masyarakat madani yang di bangun oleh Rasul Muhammad Saw di Madinah dengan azas yang tertuang di dalam "Piagam Madinah", memiliki 6 ciri utama yaitu egalitarianisme, penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan kesukuan, keturunan, ras dan sebagainya), keterbukaan (partisipasi seluruh anggota masyarakat aktif), penegakan hukum dan keadilan, toleransi dan pluralisme serta musyawarah. Kata egaliter menurut Marbun, bermakna kesetaraan. Egalitarian adalah paham yang mempercayai bahwa semua orang sederajat, sementara egalitarianisme diartikan sebagai doktrin atau pandangan yang menyatakan bahwa manusia-manusia itu ditakdirkan sama, sederajat, tidak ada perbedaan kelas dan kelompok.
Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan “the sphere of voluntary activity which takes place outside of government and the market.” Merujuk pada Bahmueller (1997), ada beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:
1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
5. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter.
6. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif.
Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak azasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan masyarakat madani (lihat DuBois dan Milley, 1992).
Politik Jalan Ketiga dan Program Jalan Ketiga (Giddens, 2000: 76-80):
Politik Jalan Ketiga:
• Persamaan
• Perlindungan atas mereka yang lemah.
• Kebebasan sebagai otonomi.
• Tak ada hak tanpa tanggungjawab.
• Tak ada otoritas tanpa demokrasi.
• Pluralisme kosmopolitan.
• Konservatisme filosofis.
• Program Jalan Ketiga:
• Negara demokratis baru (negara tanpa musuh).
• Masyarakat madani yang aktif.
• Keluarga demokratis.
• Ekonomi campuran baru.
• Kesamaan sebagai inklusi.
• Kesejahteraan positif.
• Negara berinvestasi sosial (social investemnt state).
• Bangsa kosmopolitan.
• Demokrasi kosmopolitan
Startegi untuk menjalankan Agenda Jalan Ketiga meliputi empat hal (lihat Blakeley dan Suggate, 1997):
1. Membangun masyarakat dalam membantu pencapaian tujuan-tujuan pemerintah. Peningkatan investasi-investasi sosial dan pendistribusian pelayanan-pelayanan sosial dasar yang lebih luas dan adil.
2. Membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Strategi ini meliputi desentralisasi pembuatan keputusan dan peningkatan program-program pengembangan masyarakat yang dapat meningkatkan kemampuan masyarakat dalam merealisasikan kepentingan-kepentingannya.
3. Peningkatan masyarakat dan perlindungan hak azasi manusia, kebebasan berorganisasi dan menyatakan pendapat, penetapan struktur-struktur hukum bagi lembaga-lembaga swadaya masyarakat.
4. Peningkatan partisipasi masyarakat. Strategi ini ditujukan untuk memberikan kesempatan pada masyarakat agar dapat memberikan masukan bagi perumusan kebijakan dan praktek-praktek pemerintahan yang menjamin konsultasi dan pengakuan hakiki terhadap fungsi-fungsi organisasi-organisasi lokal.
C. PELAKSANAAN DEMOKRASI DI INDONESIA
Syarat terciptanya demokrasi adalah dengan adanya pemilihan umum yang berazaskan jujur, adil, langsung, umum, bebas dan rahasia. Partai politik yang berpartisipasi sebagai lembaga independen, dapat mengagregasi serta mengartikulasikan berbagai kepentingan warga masyarakat. Perjalanan pemilu di Indonesia cukup berpengalaman, dimulai pada masa kepemimpinan Ir. Soekarno (Orde Lama) tahun 1955, sepuluh tahun setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Dengan dana yang relatif lebih minim serta faktor keamanan yang seadanya, pemilu pada waktu itu dinilai sukses dan berjalan dengan lancar. Kemudian dilanjutkan pada masa Soeharto (Orde Baru) tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997 dan pada masa reformasi tahun 1999, 2004, 2009. Pada masa 1974 semua partai dan kelompok kepentingan (interes group), kecuali Golkar dibubarkan dan digantikan oleh dua partai yang baru yaitu: PDI-P dan PPP. Secara formal kedua partai tersebut adalah partai yang terpisah dan berdiri secara independent, tetapi realitas politik lebih menampakkan pada “sistem Hegemonik” dimana partai golkar sebagai partai yang dominan, kemudian PDI-P dan PPP hanya berpartisipasi sebagai partai satelit (Sulistyo, 2003: 104).
Golongan karya meminpin pada setiap diadakannya pemilu, partai PDI-P dan PPP hanya berpartisipasi sebagai partai yang submisif (tunduk) dalam lembaga perwakilan. Pemilu lebih dirasakan sebagai sarana untuk memobilisasi masa, ketimbang dijadikan sebagai sarana partisipasi politik dan pendidikan politik bagi warga masyarakat. Tidaklah mengherankan jika setiap wakil rakyat yang duduk di DPR yang seyogyanya bertugas sebagai lembaga pengontrol kinerja eksekutif, bergeser menjadi lembaga yang hanya berfungsi sebagai biro konsultasi atas segala kebijakan dan tindakan eksekutif.
Kekuasaan yang dijalankan secara one-man show oleh Soeharto tidak mampu bertahan terlalu lama, gelombang reformasi yang diusung oleh Mahasiswa berhasil meruntuhkan rezim Orde Baru pada bulan Mei 1998, dengan pengorbanan (cost politics) yang tidak ternilai harganya. Sekaligus membuka gerbang untuk teciptanya pemilu yang kedua di Indonesia. Tahun 1999 terlaksanannya pemilu, lebih dari 100 partai yang mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum, tetapi yang memenuhi persyaratan dan berhak mengikuti Pemilihan Umum hanya sebanyak 48 partai. Dengan banyaknya partai politik yang terlibat, merupakan suatu pergeseran budaya politik yang sangat fundamental dari orde baru kepada orde reformasi yang lebih proporsional.
Sistem pemilihan yang dilaksanakan pada tahun 1999 menginginkan terciptanya sebanyak mungkin partai politik agar dapat mewakili berbagai kepentingan politik yang berkembang dalam lingkungan warga masyarakat. Akan tetapi hal tersebut bertolak belakang dengan termuatnya berbagai ketentuan yang tercantum dalam UU No. 3/1999. misalnya, usia minimun untuk bisa menjadi pengurus partai adalah 21 tahun, sementara usia minimum pemilih 17 tahun. Hanya partai-partai yang memperoleh sekurang-kurangnya 3% kursi di DPRD yang dapat ikut dalam pemilu berikutnya (electoral treshold). Dengan demikian pemilu yang dilaksanakan pada 7 Juni 1999 berakhir dengan kemenangan empat partai besar, dan 44 partai sisanya, sekurang-kurangnya memperoleh satu kursi DPR sebanyak 15 partai politik.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menang dengan sepertiga jumlah suara sah, Golkar nomor dua dengan 22,5 persen (dibandingkan dengan pemilu tahun 1977 golkar memperoleh 74,5 persen, kehilangan 61 juta suara pada tahun 1999), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) nomor 3 dengan 12,6 persen suara, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) nomor empat dengan 10,7 persen suara. Sisa partai-partai lainnya meraih sejumlah kecil suara, yang bervariasi antara 0,3 hingga 7 persen dari total suara dan kursi. Belasan partai lain sama sekali tidak mampu meraih sura diatas ambang batas minimun, sehingga tidak mendapat kursi satupun (Sulistyo, 2003:110).
D. PERILAKU DEMOKRATIS
Tiga hal yang bertolak belakang dalam era demokrasi yang berkembang dalam lingkungan masyarakat yakni:
(1) melarang penyelenggaraan pendidikan politik;
(2) memberikan stempel bahwa masyarakat itu masih bodoh; dan
(3) politik dimonopoli oleh kaum elite saja, yang banyak ditentang oleh orang banyak.
Pendidikan politik yang mengarah pada merangsang individu untuk lebih banyak berpartisipasi politik, maka dalam hal ini diharapkan setiap individu itu tidak hanya:
(1) Mampu menerima macam-macam informasi yang dapat mempertajam wawasan politik, dan wawasan sosialnya, akan tetapi individu juga harus dapat;
(2) Melakukan seleksi mengenai hak-hak yang benar dan yang paling baik bagi dirinya sendiri tanpa menyisihkan kepentigan orang lain, dan diharapkan pula agar individu ini; dan
(3) Memiliki keterampilan untuk membangun secara konstruktif, bahwa individu sanggup lebih memahami kondisi sendiri dan peka terhadap kondisi lingkungan politiknya, agar individu ini dapat bertingkah laku lebih efisien, tepat, terarah dan bertujuan ke masa depan hidupnya (Amril, 2004: 99).
Kesadaran berpolitik masyarakat agar tidak terjebak dalam konflik politik kepentingan elite, dikarenakan mampu menganalisis keadaan politik secara rasional dan terarah. Pendidikan politik yang dapat menghasilkan setiap warga Negara yang melek akan politik secara teoritik terbagi kedalam dua hal; yang pertama. Pendidikan politik yang dilaksanakan secara intensional (sengaja dengan tujuan tertentu); dan kedua, proses mempengaruhi secara politik tanpa sengaja, yang disebut sebagi sosialisasi politik. Sosialisasi politik dimaksudkan agar anak dan orang dewasa itu tanpa sengaja dan tanpa refleksi harus hidup menyesuaikan diri terhadap norma-norma dan ketentuan dari struktur-struktur politik yang ada di dalam masyarakat. Pendidikan politik memaknai kegiatan edukatif yang intensional dan sistematis untuk mengarahkan anak muda pada proses belajar berpartisipasi aktif ditengah kehidupan politik (Amril, 2004: 102).
Suatu partai politik dapat dikatakan tidak memiliki keutuhan internal atau menderita faksionalisme kalau partai tersebut mengalami perpecahan yang menggangu sehingga dapat mengancam fungsi atau kinerja. Hal yang perlu dilakukan antara lain: mendorong dialog didalam partai, meresapi berbagai prinsip dan kebijakan partai, memiliki mekanisme yang menjamin berlakunya proses dan prosedur yang benar ketika muncul pertikaian. Kapasitas kampanye perlu dilakukan: mengorganisasikan sumber-daya menusia dan materi secara rasional serta menyebarkannya sesuai dengan strategi yang telah dikembangkan sebelumnya. Perlu memiliki gagasan, kebutuhan para konstituen, serta lingkungan politik (Netherlands Institute for Multiparty Democracy, 2006: 5). Serta mengurangi cara-cara:
- Menyenangkan pemilih dengan mengadakan pertunjukan hiburan, membagikan makanan, pakaian dan barang-barang lain yang dijadikan sebagai daya tarik dalam rangka kampanye, pembagian uang atau barang kepada masyarakat harus dikurangi atau dihapuskan;
- Suatu strategi untuk membatasi persaingan, seperti menggangu atau merintangi iklan kampanye partai pesaing; melecehkan pekerjaan partai dan pemilih partai pesaing; membeli suara; memalsukan hasil pemungutan suara; mengkooptasi partai pesaing, haruslah dihindari dalam keadaan apapun juga.
Daftar Pusataka
- Bahmueller, CF (1997), The Role of Civil Society in the Promotion and Maintenance of Constitutional Liberal Democracy, http:civnet.org/civitas/panam/papers/ bahm.htm.
- Blakeley, Roger dan Diana Suggate (1997), “Public Policy Development”, dalam David Robinson, Social Capital and Policy Development, Victoria: Institute of Policy Studies, hal. 80 - 100.
- DuBois, Brenda dan Karla Krogsrud Miley (1992), Social Work: An Empowering Profession, Boston: Allyn and Bacon.
- Giddens, Anthony (2000), Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
- Kleden, Ignas (2000), “Epistemologi Kekerasan di Indonesia”, dalam Indonesia di Persimpangan Kekuasaan: Dominasi Kekerasan atas Dialog Publik, Jakarta: The Go-East Institute, hal.1-7.
0 Response to "KECERDASAN BERDEMOKRASI MENUJU MASYARAKAT MADANI"
Posting Komentar